Laman

Minggu, 12 Februari 2017

Tumpukan Email Lama, Eka Kurniawan, dan Luka yang Telah Kering

Aku baru membaca setengah bagian dari Da Vinci Code. Ya, terlambat, memang. Dia berada di sekat teratas rak buku keluarga. Saya melihat-lihat rak buku dengan seksama, mencari buku apa yang mau saya baca ulang. Bekerja selama libur satu bulan itu agak membosankan. Kadang saya curi-curi membaca Jihad NU Melawan Korupsi yang disarankan kakak tingkat. Tapi buku itu tidak selesai juga rupanya. Semangat saya untuk membaca di awal selalu buyar ketika setiap sepuluh menit bacaan harus saya hentikan. Libur tiga hari, saya putuskan membaca salah satu buku Erich Fromm tentang agresivitas. Jika sampai di titik kebosanan saya beralih ke beberapa buku pinjaman tentang feminisme. Kesetaraan gender dan hal-hal serupa.

Saya suka dan menikmati beberapa bagian. Saya mengerti dan benar-benar menganggap penting kesemuanya. Tapi tidak satupun buku yang saya baca itu selesai. Ada sesuatu yang membuat saya merasa buku itu tidak memilih saya. Maka saya pergi ke perpustakaan dan mengembalikan total empat buku itu dan berdiri lagi di depan rak buku keluarga yang tingginya hampir dua kali tinggi saya sendiri. Ya, berdiri di sana lagi seperti pada hari pertama libur. Memikirkan hal yang sama lagi; buku apa yang kira-kira menyenangkan untuk dibaca lagi.

Saya sedang mencari trilogi Bumi, Bulan, dan Matahari milik adik saya sebab belum sekalipun saya meminjam dan membacanya. Tapi buku itu tidak ada. Mungkin dipinjam temannya. Saya cari Filosfi Kopi, tak ada juga. Benar, yang itu juga masih dipinjam. Saya mendongak akhirnya, koleksi buku-buku bapak-ibu yang sudah lama. Dan di situlah saya menemukan Da Vinci Code berdiri dan tampak seperti laki-laki yang dingin sekali. Di sebelahnya ada Surat Cinta Yusuf Zulaikha yang jelas bukan genre kesukaan saya. Tapi di samping buku itu, Da Vinci Code tampak benar-benar angkuh.

Saya menariknya dan mulai membaca pada hari libur. Esoknya, di hari bekerja, saya curi-curi baca lagi. Kali ini, saya lebih lihai mencuri baca. Dan saya juga membaca dengan lebih nyaman.

Jam kerja baru selesai. Saya mengecek email untuk melihat apakah surat untuk panitia salah satu kegiatan yang saya terpilih menjadi peserta di sana sudah dibalas. Ternyata belum. Buku terlanjur agak jauh. Saya scroll ke bawah melihat email-email lama. Kepada teman, guru, media. Betapa ramai kehidupan saya dulu, pikir saya.

Benar, media. Betapa ramai hidup saya dulu, rapal saya sekali lagi dalam hati. Ini ungkapan paling emosional hari ini. Lalu tiba-tiba saja saya terlempar ke web Eka Kurniawan. Hanya dengan satu klik pada surel lama yang mencantumkan alamat webnya, saya terlempar dan mendarat di sana.

Eka Kurniawan. Lama sekali sejak kali pertama saya berkunjung ke beranda websitenya. Dua-tiga tahun mungkin. Dan betapa merinding ketika postingan pertama yang saya baca adalah bahwa beberapa novelnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Tiga puluh lima negara kalau tidak salah. Di situ saya semakin emosional.

Betapa banyak hari saya habiskan tanpa menulis, mengingatnya membuat saya sedih. Sangat sedih. Itu seperti luka. Dan tiba-tiba saya ingat kutipan dalam buku Jostein Gaarder, Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, "Apa yang kau lakukan seperti apa yang dilakukan Yudas setelah ia mempercayai Yesus. Yudas merogohkan tangannya ke dalam luka di dada Yesus yang menganga."

Terlepas dari ketidakpercayaan saya terhadap Yesus, kata-kata itu sering saya gunakan. Gaarder membuat percakapan antara Niels dan Berit terdengar dalam. Dan begitulah saya merasakan luka di dada saya yang saya ciptakan sendiri. Saya sendiri yang merogohkan tangan saya ke sana, menyurukkan tangan saya sendiri masuk ke dalam luka di dada yang masih berdarah-darah. Saya berdoa semoga saya belum mati ketika menyesali luka yang saya ciptakan sendiri itu.

Saya berdoa luka saya sebenarnya sudah kering. Berkat surel lama yang melempar saya kepada Eka Kurniawan, semoga saya memang belum mati.