Laman

Kamis, 04 Mei 2023

Soulmate 2023 Review

Sekarang jam sebelas malam lewat seperempat. Hari kerja di antara hari kerja lainnya. Tadi bekerja, besok juga akan bekerja. Aku jarang membaca novel atau menonton drama atau menonton film di hari libur, apalagi hari kerja. Biasanya energiku sangat terbatas. Tapi hari ini berbeda. Aku menonton satu film, judulnya Soulmate. Unggahan ini akan jadi catatan dadakan dan seadanya yang kutulis dengan mata sembab dan hidung merah.

Tunggu, tunggu, aku mengatur napas dulu. 

Jujur, aku belum bisa menata emosi dan pikiranku dalam folder-folder dan urutan-urutan yang akan memudahkan cerita ulang tentang film ini. Tapi aku mau mencoba. 

Film ini menceritakan kehidupan dua anak perempuan yang bersahabat sejak kecil sampai mereka dewasa. Premis sederhana. Saat kau tumbuh dewasa, banyak hal yang terjadi. Banyak hal yang berubah. Perubahan dan perbedaan menimbulkan perselisihan. Masih biasa, masih merupakan premis sederhana. Hubungan yang renggang, kembali dekat, lalu renggang lagi, dan berakhir dekat lagi. Masih juga merupakan premis sederhana. Sambil mengetik, aku juga mencoba mengingat-ingat apa tepatnya dari film ini yang membuatku begitu penasaran dan ingin menontonnya--di malam hari kerja?

Jawabannya adalah Kim Dami. 

Aku tidak punya aktor atau aktris kesukaan yang kuikuti semua film dan dramanya, tetapi entah bagaimana, Kim Dami dalam trailer Soulmate terlihat sangat keren. Mungkin ini bias karena aku juga menonton Our Beloved Summer dan suka sekali dengan Kim Dami yang menggunakan seragam SMA. Bisa juga tidak. Soalnya, dalam trailer film ini, meski hanya sebentar, aku bisa merasakan emosi yang dibawakan. Saat itu juga, aku putuskan bahwa aku akan menonton film ini. 

Setelah menyelesaikan filmnya, hal yang paling aku suka ternyata bukan lagi Kim Dami, tetapi alur penceritaan secara keseluruhan. Narasi-narasi yang mengisi adegan dramatis yang cantik. Sudut pandang masing-masing tokoh. Cerita rekaan satu tokoh yang bergantian dengan situasi asli, yang membuatku merasa akhir ceritanya menjadi tidak pasti. Dari dua cerita yang bertolak belakang, dengan akhir cerita yang demikian, kita berhak memilih untuk memercayai yang mana.

Jadi intinya begitu. Film ini emosional. Idenya memang sederhana, tetapi cara penceritaannya indah. Pengambilan gambar juga dilakukan dengan cantik. Aku dibuat bersimpati kepada kedua tokoh utama dan menangis sepanjang cerita.

 Aku jadi ingin pergi sendiri.

Nah, alasan aku menulis kembali di blog ini adalah karena Haeun juga menulis di blognya. Oh, dan satu hal lagi yang baru aku sadari. Sepanjang film, aku tidak mendengar ada dialog "I love you" sama sekali, tapi aku bisa merasakan bagaimana semua tokoh saling mencintai satu sama lain. Cantik, ya. 

Jumat, 26 Agustus 2022

Pesan Untuk Diri Sendiri

Ola!

Aku baru aja baca-baca semua tulisan di blog ini. Semua yang pernah dipublikasikan lalu ditarik jadi draft lagi. Semua yang hanya ditulis setengah jadi. Pokoknya semuanya. Nostalgic, hehe. 

Aku baru paham kenapa mas-mas dari uwin ciputat dulu bangga sekali menemukan aku. Aku baru mengerti kenapa mereka dulu mendukung aku gila-gilaan untuk terus menulis dan you know, literally do what i was doing back then, blogging random setiap hari. Aku ingat betul seorang mengirimiku email dan bilang, dia merasa kehidupan SMA-ku kedengaran sangat menyenangkan, lebih menyenangkan dari miliknya. Baru sekarang aku menyadari itu.

Aku terkikik membaca setiap entri. Aku punya sense humor yang lumayan juga saat itu, hehe. Di beberapa bagian, aku juga menangis. Saat membaca ungkapan rasa sayangku kepada anak-anak, di sana tertulis, "Bahkan jika mereka sudah terlalu besar dan malu untuk datang, bahkan jika aku harus pergi, aku harap aku tetap mencintai mereka seperti saat ini."

Ya ampun. Aku betul-betul malu pada diriku sendiri. 

Ternyata ada banyak hal yang berubah. Aku tidak bisa meramalkannya saat itu. Aku tidak repot-repot meramalkannya. Aku hanya menikmati setiap momen yang ada, lalu memotret setiap emosinya dengan tulisan. Emosi itulah yang saat ini mengalir menuju ke arahku. Deras dan tak terbendung. Hidup remaja memang sesederhana itu, ya. Aku harap aku bisa selalu hidup begitu hingga bertahun-tahun mendatang.

Akhir-akhir ini ada terlalu banyak hal yang terjadi. Aku hampir tidak bisa mencerna semuanya dengan baik. Seleksi ini, seleksi itu, revisi ini, revisi itu, mengurus ini, mengurus itu. Aku tidak punya waktu untuk duduk dan mengikat setiap emosi yang lewat. Gara-gara itu, aku berakhir kebingungan. Aku tidak yakin pada apa yang aku rasakan atau aku lakukan. Benarkah begini? Benarkah begitu?

Kadang, aku melonggarkan waktu untuk duduk dan merenung. Tapi semuanya kulakukan dengan tujuan. Misalnya, untuk mengisi formulir beasiswa. Kukira itu cukup. Ternyata tidak. Perenungan harusnya dilakukan tanpa tujuan. Hanya berusaha hadir dan mengecap semua perasaan yang ada. 

Jadi, untuk diriku sendiri di masa depan, aku tahu saat ini kamu pasti lebih sibuk. Tapi coba luangkan waktu untuk menuliskan semua yang kamu rasakan. Apa yang kamu alami. Hari yang kamu jalani. Hal-hal aneh yang terjadi. Mungkin sulit mengatur waktu, tapi aku betul-betul berharap kamu melakukannya. Tarik napas yang dalam, kita adalah pribadi yang sama. Aku di usia 24, aku di usia 17, bahkan aku di usia 10 tahun. Semua hal hebat yang sudah kita lalui, itu adalah bagian dari dirimu juga. Tegakkan punggungmu, usap air matamu. I believe that you belong to great scenarios. You don't have to go big, you are big. 

Untuk diriku sendiri sekarang, sana mandi, sudah hampir malam. 

Rabu, 21 Maret 2018

Rasa Bersalah dan Penerimaan Diri

Hai. (as always)

Hari ini aku ada di kamar, blogging sendirian. Eh, nggak. Aku sebenarnya sedang ngerjain tugas. Eh, nggak juga. Aku sebenarnya sedang dikerjain tugas. Persetan, apapun namanya deh. Tapi, tugas anak Psikologi kadang nguras emosi, sehingga untuk tugas ini, aku nggak bisa sekali duduk selesai. Untuk tugas lain, aku lebih suka sekali duduk selesai, tapi yang ini aku rasa nggak bisa. Hehe.

Jadi, aku akan sedikit ngomyeng di sini, hehe. Semua orang pernah punya salah. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Sebagian orang berharap untuk kembali ke masa lalu dan nggak melakukan kesalahan itu, sebagian lainnya melanjutkan hidup dengan rasa bersalah, sedikit lainnya bisa sembuh dan menyadari bahwa dirinya baik-baik saja. Jadi pertanyaannya, kenapa begitu?

Sebab kata Frankl dalam Man's Search For Meaning, tidak ada yang namanya hal buruk atau hal baik. Semua yang kita alami bisa menjadi baik atau buruk tergantung pada persepsi kita atasnya. (Terima kasih kepada si Bapak Psikolog Idaman Terganteng Viktor Frankl). Jadi, sebagian orang menganggap kesalahan sebagai pembelajaran atau apapun namanya yang berkaitan dengan hal baik untuk dirinya. Sementara sebagian lain menganggap kesalahan sebagai aib yang harus ditutup dari dirinya.

Kalau begitu, memang kita bisa mengubah persepsi kita sehingga kita bisa melihat apapun secara positif? 

Oke. Persepsi atau cara pandang kita sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan lingkungan mayoritas tempat kita tumbuh.

Tunggu, tunggu. Kalau begitu, kita nggak bisa mengubahnya?

Bisa, tentu bisa. Kecuali kelahiran, kematian, jodoh, dan nasi goreng adalah makanan terenak di dunia, aku rasa nggak ada hal lain yang nggak bisa diubah. Kita harus belajar. Sebagaimana Mary Riana belajar untuk mencintai kerja keras, kita juga harus belajar untuk meyakini bahwa kesalahan kita di masa lalu adalah media pembelajaran terbaik bagi kita untuk menjadi lebih baik.

Apakah menyimpan rasa bersalah itu adalah suatu masalah? Iya, jelas iya. Kalau kata Carl Rogers, nanti nggak bisa jadi "fully functioning person". Kalau nggak bisa jadi manusia yang berfungsi seutuhnya itu, maka kita nggak bisa mengaktualisasikan diri. Padahal, aktualisasi diri adalah kebutuhan meta setiap manusia. *senggol dan kedipin Pak Maslow* Kenapa gitu? Sebab ketika kita masih menyimpan rasa bersalah, kita nggak mungkin bisa menerima diri kita sendiri. Padahal, kita harus menerima diri sendiri untuk bisa dicintai. Hmm.

Btw, sudah ah. :)

Selamat siang,
untukku.

Rabu, 24 Januari 2018

Arima Kousei dan Kejujuran di Bulan Nopember

Aku di sini lagiii ^^

Here I am, finishing the job that should have done days ago, wkwk. Gapapa yaa, kalo kata Gamaliel, semua orang menyuruhmu berlari, tapi nggak pernah ada yang peduli apakah kamu terluka atau baik-baik saja, jadi "would you slow down?" ehehe. Btw, ini bukan pembelaan. Aku betul sibuk sejak minggu kemarin. Semalem sudah kelar semua sebetulnya, tapi wifi rumah mati, dan aku ga mungkin pergi keluar malam-malam.

Finally! Tugasku kelar sebelum deadline yeay! ^^

Ngomong-ngomong, liburan ini betul-betul produktif sampai aku nggak ngerasa libur, ehehe. Aku ke kampus beberapa kali seminggu, bawa pulang beberapa tugas rumah, pergi jualan ke Gunung Kidul, rekap barang masuk dan keluar, dan jadi mbak rumah tangga beberapa hari, wkwk. Yaaa, mamah-abah sempat ke Ponorogo beberapa hari, jadilah aku yang masak dan ngurusin urusan rumah lainnya, hehe.

Tadi, secara nggak sengaja, ketika aku ada di lampu merah, aku lihat gantungan kunci Kousei-ku. Aku tiba-tiba mikir, Kousei menandai hari pertama aku menjadi diriku sendiri ya. Aku lepas gantungan kunci yang sama dengan motor-motor lain di rumah dan menggantinya dengan Kousei. Setelah itu, aku melawan diriku sendiri dengan mengatakan apa yang selama ini ingin sekali aku katakan. Aku nangis, iya, seperti biasanya. Tapi aku terus bicara. Aku nggak lantas berhenti seperti sebelum-sebelumnya. Aku terus bicara, aku menolak diinterupsi. Semuanya berhasil keluar dari mulutku.

Aku sedikit banyak bangga juga bahwa aku selangkah lebih dekat dengan diriku sendiri. (Hey myself, wait for me upstairs!). Aku mengatakan semuanya, bahwa aku punya mimpi yang lain, bahwa cita-citaku mungkin berbeda, begitu pula caraku untuk menuju ke sana. Aku bukan anak perempuan manis yang penurut lagi.

Ehehe. Aku mau nangis dan tertawa bersamaan sekarang.

Salam dariku untuk diriku sendiri yang sedang menunggu beberapa langkah di depan.
Aku akan segera sampai :)

Senin, 27 November 2017

Perpustakaan

Hai.

Aku masih sama, suka menyendiri di pojokan sambil membaca buku. Yah, meski di waktu yang lain aku juga ribut bersama gengs yang memang tanpa aku pun sudah ribut. Tapi, kami sama, tak suka menghabiskan banyak uang untuk hal-hal yang nggak terlalu penting. Jika makan bisa lima ribu, maka makan hingga sepuluh ribu adalah pemborosan. Begitulah.

Sekarang aku di perpustakaan kampus yang view-nya hmmm cantik banget. Langit mendung, dinding kaca yang menghadap langsung ke Merapi, bangunan-bangunan, dan lalu-lalang kendaraan. Cantik banget. Di telingaku ada Owl City yang mengulang-ulang lagu If My Heart Was A House dan Vanilla Twillight. Aku nganggur sejak setengah jam yang lalu, setelah selesai mengumpulkan jurnal-jurnal yang akan aku review malam nanti,

Aku agak benci rumah akhir-akhir ini. Maka, sebisa mungkin aku meghabiskan "jatah berada di luar"-ku untuk benar-benar berada di luar, hehe. Anyway, aku nggak pernah hanging out yang jalan-jalan di mall, atau nongkrong di kafe, atau nonton bioskop. Definisi mainku sama temen-temen adalah baca buku sendiri-sendiri di kos si Anu, atau nonton film Psikologi bareng di kos si Anu dan kemudian mendiskusikan filmnya.

Itulah yang aku benci. Kenapa aku harus begitu dicurigai, ketika aku bahkan nggak melakukan apa yang bahkan anak-anak lain normalnya lakukan--jalan, main, sesekali nongkrong.

Btw, aku baru saja bergabung dalam tim riset Pak Mustadin. Ramah syekaliiihh ^^. Aku bersyukur banget, Tuhan bukakan jalan lain. Sebab aku begitu kecewa nggak bisa jadi asisten Pak Very atau Bu Arum, Tuhan kasih aku jalan di sini. Well, doakan semoga aku nggak kena seleksi alam! Aku bakalan serius ngerjakan riset ini. Apalagi outputnya adalah inventori, hmmm.

Au Revoir ^^

Minggu, 12 Februari 2017

Tumpukan Email Lama, Eka Kurniawan, dan Luka yang Telah Kering

Aku baru membaca setengah bagian dari Da Vinci Code. Ya, terlambat, memang. Dia berada di sekat teratas rak buku keluarga. Saya melihat-lihat rak buku dengan seksama, mencari buku apa yang mau saya baca ulang. Bekerja selama libur satu bulan itu agak membosankan. Kadang saya curi-curi membaca Jihad NU Melawan Korupsi yang disarankan kakak tingkat. Tapi buku itu tidak selesai juga rupanya. Semangat saya untuk membaca di awal selalu buyar ketika setiap sepuluh menit bacaan harus saya hentikan. Libur tiga hari, saya putuskan membaca salah satu buku Erich Fromm tentang agresivitas. Jika sampai di titik kebosanan saya beralih ke beberapa buku pinjaman tentang feminisme. Kesetaraan gender dan hal-hal serupa.

Saya suka dan menikmati beberapa bagian. Saya mengerti dan benar-benar menganggap penting kesemuanya. Tapi tidak satupun buku yang saya baca itu selesai. Ada sesuatu yang membuat saya merasa buku itu tidak memilih saya. Maka saya pergi ke perpustakaan dan mengembalikan total empat buku itu dan berdiri lagi di depan rak buku keluarga yang tingginya hampir dua kali tinggi saya sendiri. Ya, berdiri di sana lagi seperti pada hari pertama libur. Memikirkan hal yang sama lagi; buku apa yang kira-kira menyenangkan untuk dibaca lagi.

Saya sedang mencari trilogi Bumi, Bulan, dan Matahari milik adik saya sebab belum sekalipun saya meminjam dan membacanya. Tapi buku itu tidak ada. Mungkin dipinjam temannya. Saya cari Filosfi Kopi, tak ada juga. Benar, yang itu juga masih dipinjam. Saya mendongak akhirnya, koleksi buku-buku bapak-ibu yang sudah lama. Dan di situlah saya menemukan Da Vinci Code berdiri dan tampak seperti laki-laki yang dingin sekali. Di sebelahnya ada Surat Cinta Yusuf Zulaikha yang jelas bukan genre kesukaan saya. Tapi di samping buku itu, Da Vinci Code tampak benar-benar angkuh.

Saya menariknya dan mulai membaca pada hari libur. Esoknya, di hari bekerja, saya curi-curi baca lagi. Kali ini, saya lebih lihai mencuri baca. Dan saya juga membaca dengan lebih nyaman.

Jam kerja baru selesai. Saya mengecek email untuk melihat apakah surat untuk panitia salah satu kegiatan yang saya terpilih menjadi peserta di sana sudah dibalas. Ternyata belum. Buku terlanjur agak jauh. Saya scroll ke bawah melihat email-email lama. Kepada teman, guru, media. Betapa ramai kehidupan saya dulu, pikir saya.

Benar, media. Betapa ramai hidup saya dulu, rapal saya sekali lagi dalam hati. Ini ungkapan paling emosional hari ini. Lalu tiba-tiba saja saya terlempar ke web Eka Kurniawan. Hanya dengan satu klik pada surel lama yang mencantumkan alamat webnya, saya terlempar dan mendarat di sana.

Eka Kurniawan. Lama sekali sejak kali pertama saya berkunjung ke beranda websitenya. Dua-tiga tahun mungkin. Dan betapa merinding ketika postingan pertama yang saya baca adalah bahwa beberapa novelnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Tiga puluh lima negara kalau tidak salah. Di situ saya semakin emosional.

Betapa banyak hari saya habiskan tanpa menulis, mengingatnya membuat saya sedih. Sangat sedih. Itu seperti luka. Dan tiba-tiba saya ingat kutipan dalam buku Jostein Gaarder, Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, "Apa yang kau lakukan seperti apa yang dilakukan Yudas setelah ia mempercayai Yesus. Yudas merogohkan tangannya ke dalam luka di dada Yesus yang menganga."

Terlepas dari ketidakpercayaan saya terhadap Yesus, kata-kata itu sering saya gunakan. Gaarder membuat percakapan antara Niels dan Berit terdengar dalam. Dan begitulah saya merasakan luka di dada saya yang saya ciptakan sendiri. Saya sendiri yang merogohkan tangan saya ke sana, menyurukkan tangan saya sendiri masuk ke dalam luka di dada yang masih berdarah-darah. Saya berdoa semoga saya belum mati ketika menyesali luka yang saya ciptakan sendiri itu.

Saya berdoa luka saya sebenarnya sudah kering. Berkat surel lama yang melempar saya kepada Eka Kurniawan, semoga saya memang belum mati.

Rabu, 14 Desember 2016

Halo

Hai.

Emm, rasanya lama sekali. Aku nggak menghapus postingannya, hanya mengubah yang published menjadi draft. Rasanya baru kemarin aku mendengar seseorang bicara, "Teruslah menulis, nggak akan ada yang sia-sia dari tulisanmu." atau "Banyaklah membaca buku-buku yang kamu inginkan sekarang, nanti kuliah, kamu nggak akan sempat membaca selain yang harus kamu baca." atau "Saya sudah khatam membaca blogmu," dan lain-lain.

Cerita tentang Dyana dan usaha kami mencari buku referensi. Cerita tentang kegelisahan biasa saja yang aku temukan sehari-hari. Semua hal yang baru-baru ini aku anggap "tidak dewasa". Padahal, aku sendiri belum bisa memaknai kedewasaan.

Aku baru belajar tentang transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik yang digagas Pak Kuntowijoyo. Sekaligus juga relevansinya dengan psikologi yang sedang berkembang sekarang di madzhab keempatnya, Perspektif Transpersonal. Meski boleh dikatakan, Transpersonal masih malu-malu menyebut Tuhan dan tampak ragu. Dari sana juga aku mencicipi Fisika Kuantum dan hubungan dekatnya dengan salah satu filusuf di buku milik Sophie Amundsen; semua hal di dunia ini semu. Benda-benda padat yang kita rasakan ini semu. Kita adalah "just the speck of dust within the galaxy" seperti kata Adam Levine. Lalu aku berpikir, "Lalu untuk apa?"

Apa yang mau kutulis tentang diriku sendiri ketika aku begitu takut membayangkan realitasku--dengan sebenar-benarnya? Kata-kata positif yang mewakili pikiran-pikiran positif? Sikap naif?

Aku mencari diriku sendiri.

Aku selalu menganggap bahwa nggak seorangpun singgah di sini, Tapi pasti akan ada orang-orang yang terdampar. Sepandainya paus berenang, kadang terdampar juga. Jika tidak mati di sana, kadang juga mati dimakan warga sekitar. Begitulah. Jika ada yang terdampar, entah akan membeku karena tak menemukan yang dicari, atau membeku tersedot dalam dunia antah-berantah ini.

Waktu dan ruang bukan lagi jarak. Tubuh adalah fana, tetapi kesadaran abadi, berpindah ke dimensi lain dunia, memasuki lorong panjang yang menuntunnya kepada kehidupan yang lain lagi.

Well, sebenarnya aku nggak berhenti.

Aku pindah lapak. Mencoba lebih serius, meski akhirnya kembali. Aku hanya ingin kembali sekali waktu. Jika ruang dan waktu bukanlah jarak, mungkin aku akan lebih sering hidup sebagai aku yang dulu daripada sekarang. Entah. Jelasnya, aku pindah ke blog baru. Mencoba sesuatu yang juga baru.

Salam dariku yang sangat rindu.
Selamat malam untukku.