Laman

Rabu, 21 Maret 2018

Rasa Bersalah dan Penerimaan Diri

Hai. (as always)

Hari ini aku ada di kamar, blogging sendirian. Eh, nggak. Aku sebenarnya sedang ngerjain tugas. Eh, nggak juga. Aku sebenarnya sedang dikerjain tugas. Persetan, apapun namanya deh. Tapi, tugas anak Psikologi kadang nguras emosi, sehingga untuk tugas ini, aku nggak bisa sekali duduk selesai. Untuk tugas lain, aku lebih suka sekali duduk selesai, tapi yang ini aku rasa nggak bisa. Hehe.

Jadi, aku akan sedikit ngomyeng di sini, hehe. Semua orang pernah punya salah. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Sebagian orang berharap untuk kembali ke masa lalu dan nggak melakukan kesalahan itu, sebagian lainnya melanjutkan hidup dengan rasa bersalah, sedikit lainnya bisa sembuh dan menyadari bahwa dirinya baik-baik saja. Jadi pertanyaannya, kenapa begitu?

Sebab kata Frankl dalam Man's Search For Meaning, tidak ada yang namanya hal buruk atau hal baik. Semua yang kita alami bisa menjadi baik atau buruk tergantung pada persepsi kita atasnya. (Terima kasih kepada si Bapak Psikolog Idaman Terganteng Viktor Frankl). Jadi, sebagian orang menganggap kesalahan sebagai pembelajaran atau apapun namanya yang berkaitan dengan hal baik untuk dirinya. Sementara sebagian lain menganggap kesalahan sebagai aib yang harus ditutup dari dirinya.

Kalau begitu, memang kita bisa mengubah persepsi kita sehingga kita bisa melihat apapun secara positif? 

Oke. Persepsi atau cara pandang kita sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan lingkungan mayoritas tempat kita tumbuh.

Tunggu, tunggu. Kalau begitu, kita nggak bisa mengubahnya?

Bisa, tentu bisa. Kecuali kelahiran, kematian, jodoh, dan nasi goreng adalah makanan terenak di dunia, aku rasa nggak ada hal lain yang nggak bisa diubah. Kita harus belajar. Sebagaimana Mary Riana belajar untuk mencintai kerja keras, kita juga harus belajar untuk meyakini bahwa kesalahan kita di masa lalu adalah media pembelajaran terbaik bagi kita untuk menjadi lebih baik.

Apakah menyimpan rasa bersalah itu adalah suatu masalah? Iya, jelas iya. Kalau kata Carl Rogers, nanti nggak bisa jadi "fully functioning person". Kalau nggak bisa jadi manusia yang berfungsi seutuhnya itu, maka kita nggak bisa mengaktualisasikan diri. Padahal, aktualisasi diri adalah kebutuhan meta setiap manusia. *senggol dan kedipin Pak Maslow* Kenapa gitu? Sebab ketika kita masih menyimpan rasa bersalah, kita nggak mungkin bisa menerima diri kita sendiri. Padahal, kita harus menerima diri sendiri untuk bisa dicintai. Hmm.

Btw, sudah ah. :)

Selamat siang,
untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave a comment if you like ;)